Sunday, October 18, 2009

Cinta Mentok

Cinta Mentok
Lilis menyeruput soda dingin dengan tergesa-gesa. Hari ini panas sekali, terik matahari menyengat kulitnya, parasnya jadi memerah seperti kepiting rebus. Hari yang panas menyebalkan, koreksi, bukan karena kepanasan tapi gara-gara ada senior yang sering mengganggunya.
“Lis, buruan! Bentar lagi praktikumnya dimulai, kalo telat lagi bisa disuruh nyuci semua alat lab yang dipakai anak-anak,” sahut Echa, teman Lilis yang ia kenal 6 bulan yang lalu.
“Iya. Sabar,”tukas Lilis.
“Lis, kalo lo makan soto kayak keong gini, gue duluan ajah. Gue lupa mbalikin buku ke perpus.”
Lilis mengangguk mantap. Makan harus dinikmati, itu prinsipnya sebagai anak kost. Mahal-mahal ia keluar duit masak iya makan langsung ditelen gitu. Dari kejauhan ada satu pasang mata yang selalu memperhatikan Lilis. Pandangan mata intens, seperti macan mengintai mangsa. Maksudnya, macan yang lagi jatuh cinta. Ia beranjak dari kursinya menuju kasir, langsung membayar dan cepat-cepat ke lab. Begini lah hidup, terkadang kalo kita lagi in hurry pasti ada yang menghambat kita. Like this…
“Soto satu, soda satu, sate usus satu, berapa Mbak?” tanya Lilis seraya menarik dompetnya dari saku belakang jeansnya yang dirantai di ikat pinggangnya, rada maskulin sih, whatever, Lilis cewek tulen.
“Buat neng Geulis gratis!” terdengar suara seorang cowok dari balik punggungnya. So close.
Lilis menggeleng tapi cowok itu langsung meletakkan 10 ribu di meja kasir . tanpa pikir panjang Mbak yang jaga kasir mengambil uang itu dan menyodorkan uang kembalian. Dony menggeleng, “Buat Mbak saja, ongkos beli pembalut.” Dony menyunggingkan senyum premannya. Mbak penjaga kasir ikut tersenyum basa-basi. Lilis?
OMG, pembalut? Nggak ada barang lain selain pembalut?
“Makasih Kak, besok aku ganti,” ucap Lilis langsung ngeloyor pergi.
“No problemo. Neng, nggak mau akang anterin ke labnya. Lumayan jauh kan jalannya?Toraku nggak segan nganter cewek secantik kamu.” Lilis menoleh, menggeleng cepat dengan senyum terpaksa sedikit meringis. Ia pergi tanpa menghiraukan panggilan dari seniornya itu.
Enam bulan Lilis kuliah di universitas swasta di Jogja, jurusan teknik kimia, impiannya, koreksi! impian mamanya yang tinggal di Bogor. Enam bulan ia habiskan harinya diganggu seniornya. Dony mahasiswa tingkat akhir, rambut gondrong, celana jeans belel andalan, jaket jeans kadang jaket kulit, dan sneakers yang tampaknya tidak pernah dicuci semenjak dibeli. Bagaimana lilis bisa punya gandengan kalo tiap hari Dony mengikutinya seperti bodyguard. Ia bahkan tahu jadwal Lilis, di kelas apa, siapa dosennya, untung saja ia nggak tahu kost-kostan Lilis. Padahal jurusan mereka berbeda, teknik kimia dan teknik geologi yang jaraknya terpaut dua gedung jurusan teknik lainnya.
Usai praktikum yang melelahkan, Lilis langsung balik ke kost bareng Echa yang juga satu kostan. Untung Echa bawa mobil kali ini, jadi Dony nggak gangguin dia. “Abang Gondrong yang sering bareng kamu itu cowok lo ya? Sayang banget kalo dia cowok lo, nggak imbang banget. Kayak sopir ma majikan. BTW Mas Revi ngefans ma lo!” ujar Echa panjang.
“Serius?”
“Yup. Jawab dulu, dia cowok lo apa peliharaan lo?”
“Kasar banget sih. Masa orang dipanggil peliharaan! Dia bukan cowokku, dia Cuma stalker. That’s it!” protes Lilis.
“Tadi pagi gue ketemu Mas Revi, dia minta dicomblangin sama lo, tapi setelah liat ada preman di deketmu dia susut gitu. Cemen ya! Badan aja yang gede kayak preman, hati perempuan.”
***
Lilis mematut-matut diri di depan cermin ditemanin Echa yang jadi penasehat fashion. Rencananya, malam ini Mas Revi akan bertandang untuk pertama kalinya di kost-kostan Lilis. Sekaligus mengajak Lilis berkeliling kota Jogja. Menikmati keindahan jogja kala malam atau sekadar mengobrol santai sambil mengopi di pinggir code. So Sweet…
“Too Sexy, Sis!”
“Lo mau pindah ke Greenland?”
“Titik Puspa aja nggak pernah make itu sepanjang hidupnya!”
“Adios! Perfecto!”
Echa berkomentar setiap kali Lilis berganti baju. Lilis emang nggak peka sama yang namanya fashion, ke kampus aja paling pake kaos polo, jeans, rambut dikucir, sneakers, plus tas selempang. Echa berdecak kagum, “Cocok banget Sis!” Ia mengenakan gaun model balon dipadu padankan legging berwarna hitam, dan tentunya highheels. “Kurang make upnya Sis, minimalis ajah!”
“Lis...ada yang nyariin kamu tuh!” ujar bapak yang punya kos seraya mengetuk pintu kamar Lilis.“Lis, kalo dia ngapelin kamu dan nggak ada urusan sama yang namanya tugas kampus nggak boleh lebih dari jam 9. Kalo udah jam 9 kamu suruh dia pulang atau Bapak yang usir dia.”
“Oke Bos!” Lilis mendongak dari balik pintu memberikan senyuman termanis pada si Bapak Kost.
Lilis berjalan ke teras. Langkahnya ringan sekali. Tamu anak-anak kost, apalagi cowok, memang tidak diperbolehkan masuk. Lilis tersenyum, sedetik kemudian roman mukanya berubah. Ia kaget. Terkejut sampai mulutnya melongo membentuk huruf O. Mas Revi keren sekali apalagi dengan mobil sedan yang terparkir rapi di pelataran depan kostnya. (Matre dikit boleh, kan?). tapi, ada keganjilan yang mengganggu hatinya. Disamping mobil itu ada motor gede yang tak asing baginya.Sedari tadi ia hanya fokus pada Mas Revi akhirnya tersadar juga. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sosok yang selalu ia temui kecuali hari Sabtu dan Minggu, Dony si gondrong mirip preman, merokok tanpa dosa di dekat pagar.
Entah karena diancam Dony atau karena sesuatu, Mas Revi membatalkan janjinya mengajak Lilis jalan-jalan. Ia beralasan lebih enak mengobrol santai supaya ia bisa mengenal Lilis lebih jauh. Obrolan antar 2 orang, antara Mas Revi dan Lilis tentunya, berlangsung seru. Secara mereka berdua satu jurusan nyambung gitu. Sedangkan Dony hanya menimpali, memutuskan pembicaraan dengan joke-joke aneh, atau melemparkan ejekan ke Mas Revi. Lama-lama Dony bosan juga, ia menghabiskan 1 pack rokok dalam waktu 2 jam sambil memainkan game ular di hapenya.
“Waduh. Udah jam 9, Mas pulang dulu ya Dek!”
Adek? Baru ketemu sekali aja udah manggil adek. Jangan-jangan besok dia manggil sayang, honey, darling, my sweetheart, my boo, he…he…he…
“Iya,” Ujar Lilis. Hatinya bergejolak saking senangnya. Lilis mengantar mas Revi hingga ke depan mobilnya. Dony tak beranjak dari kursinya, ia melengos kesal. Waktunya hampir habis, tapi tiba-tiba ia punya rencana.
“Ketemu Senin di kampus ya, Lis!”
“Iya, Mas. Ati-ati di jalan!”
Lilis melambaikan tangannya ketika mobil Mas revi melaju pergi menembus gelapnya malam. Senyumnya merekah, senyum kemenangan. Ternyata ada bagusnya juga mereka datang bersamaan, tetap aja yang mengobrol hanya dua orang dan yang satu menjadi obat nyamuk. Dony gondrong pasti akan mundur setelah tau Lilis didekatin dengan mahasiswa pintar, kaya, dan ganteng. Kalo dibandingin jauh sekali pointnya.
Lilis berbalik dan masih mendapati sosok Dony dengan balutan baju preman dan rokok di tangan. Santai sekali.
Bentar lagi kamu kuusir! Yeah
“Hai,” Dony menyapa seolah-olah dia baru saja datang.
“Hai juga. Kayaknya kamu udah harus pulang. Aku nggak ngusir loh, tapi emang peraturan di kost ini nggak boleh nerima tamu lebih dari jam 9.”
“Tau kok! Aku udah minta ijin sama Bapak Kostmu, khusus aku ada perpanjangan waktu satu jam sampe jam 10,”Dony tersenyum. Senyum kemenangan.
Lilis melongo tak percaya. “Aku nggak percaya!”
“Tanya aja saja sama bapak kostmu.”
“Pak…Bapak….,” panggil Lilis nadanya ketakutan.
“Apa Lis?” tanya bapak kost yang merasa terganggu melewatkan adegan Farell yang sedang memeluk Fitri.
“Apa bener Bapak memberi tambahan jam malam sama teman saya yang gondrong itu?”
“Bener.”
Ooh…Lilis Melongo lagi. Dunia ini tak adil. Jauh-jauh ia kuliah untuk mencari kedamaian, tapi tampaknya itu tidak akan terjadi.
***

No comments:

kerja dirumah